Sunday, July 21, 2013

Tunggu Aku Di Pintu Surga

Tunggu Aku di Pintu Surga

Angin pagi berhembus perlahan. Menggugurkan bunga dan
dedaunan kering. Diantara helai demi helai daun yang berjatuhan, nampak
seorang gadis manis bernama Natria berjalan menuju sekolahnya.

Tiba-tiba seorang cowok menabraknya dari belakang, "Uups,
sorry!" kata cowok itu.

Natria menjawab singkat, "Gak apa-apa." Lalu diapun
melanjutkan perjalanannya.

"Eh, tunggu!" cowok itu mengejar Natria, "Lo anak Smerti
kan?" tanyanya ketika sudah ada di samping Natria.

"Iya."

"Kalau gitu kita berangkat bareng ya. Btw nama gue Dika, lo?"

"Natria."

"Oh Natria, bagus juga, kayak nama kucing gue, hehehe..."

Natria menoleh sebentar pada Dika, tapi kemudian dia
berjalan mendahului. Dika mengejarnya lagi, "Hey, lo marah ya? Gue kan
Cuma bercanda."

Natria tidak mempedulikan Dika, dia terus berlari. Ketika
sampai di kelas, Diandra, teman sekelasnya, menyambutnya, "Nat, ada
berita bagus hari ini."

"Berita bagus apa?"

"Gue denger di school kita bakalan ada murid baru. Katanya
sich dia cowok yang cool banget."

"Trus, apanya yang bagus?"

"Masak lo gak ngerti sich Nat, yach gue tau cowok-cowok di
sini gak ada yang bener-bener ok, so gue fikir dengan ada cowok itu,
pintu hati lo bisa terbuka."

"Maksud kamu apa sich Dra? Udah berapa kali aku bilang kalau
aku nggak mau ngebahas masalah gituan?!"

Diandra menatap mata Natria, "Nat, sampai kapan lo mau kayak
gini? Lo harus percaya kalo cinta itu suci nggak mandang apapun,
siapapun, dan bagaimanapun."

Natria menunduk, tanpa dia sadari air mata bercucuran di
pipi putihnya, "Seandainya aku normal, seandainya Ibu melahirkanku dalam
keadaan yang sehat, seandainya aku nggak sakit..." rintihnya.

Diandra merasa bersalah, "Maafin gue ya.."





"Teman-teman, murid baru itu sudah datang..." teriak seorang
cowok berkacamata. Beberapa saat kemudian wali kelas mereka datang
bersama cowok ganteng yang tadi ditemui Natria di jalan.

"Anak-anak, pagi ini kita kedatangan seorang murid baru,
Ayo, Mahardika, perkenalkan dirimu."

"Selamat pagi teman-teman, kenalin namaku mahardika Putra.
Aku pindah sekolah karena ayahku bekerja di sini." Katanya sambil
memandang ke seluruh ruangan, pandangannya berhenti ketika menemukan Natria.

"Nah, Mahardika, silahkan duduk di bangku kosong di pojok itu!"

Dika mengangguk, "Baik Pak." Diapun berjalan menuju bangku
kosong yang ada di belakang bangkunya Natria, sebelum duduk, dia sempat
melirik ke arah cewek itu sambil tersenyum.





"Gimana Nat, dia keren kan?" kata Diandra sambil menangkap
sehelai daun kering yang jatuh di dekatnya.

"Siapa?"

"Mahardikalah, sipa lagi?! Duch, senyumnya sweet banget,
hidungnya mancung, kulitnya putih, so cool."

"Biasa aja."

"What? Biasa?! Lo tu rabun ya Nat, jelas-jelas dia tu ok
banget. Kalo gue balum punya cowok, pasti dia udah gue gebet."

Natria hanya tersenyum mendengar kata teman sebangkunya itu.

Diam-diam mahardika menguping pembicaraan kedua cewek itu,
dia merasa tertantang dengan kata-kata Natria, dia adalah cewek pertama
yang bilang Dika biasa saja, "Lo pasti akan jatuh di pelukan gue."





Esok harinya di sekolah Mahardika mulai mendekati Natria,
namun tanggapan cewek itu sangat dingin. Setiap diajak bicara atau
ditanyai sesuatu, dia hanya menjawab singkat, kadang-kadang hanya
mengangguk dan tersenyum.

Tapi hal itu malah membuat Mahardika semakin penasaran,
Diandrapun membantunya untuk mendapatkan Natria.

"Nat, kayaknya Dika suka dech sama lo." Katanya.

Natria tidak menanggapi kata-kata Diandra.

"Natria, gue serius. Selama ini dia selalu ngedeketin lo
kan, gue yakin kalo dia tu suka sama lo."

"Bukannya kamu udah tahu Dra, aku nggak peduli ma hal-hal
kayak gitu. Aku nggak percaya ma yang namanya cinta."

"Tapi Nat, lo nggak boleh kayak gini terus. Setiap orang
berhak dan wajib jatuh cinta. Sampai kapan lo mau nutup pintu hati lo?
Seenggaknya cobalah walo hanya sekali." Bujuk Diandra.

Natria meneteskan lagi air mata kesedihannya, "Diandra, kamu
adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki, selain keluargaku, hanya
kamu yang tahu kalo aku mengidap penyakit itu. Aku akan mati Dra!"

"Lo nggak boleh ngomong kayak gitu, semua orang juga akan
mati. Tapi sebelum itu terjadi, kita harus menghiasi hidup kita yang
singkat ini dengan cinta. Lo ngerti kan Nat?"

"Udahlah Dra, lihat ntar aja."

Pikiran Natria kini diliputi kebimbangan, selama ini dia
selalu berusaha untuk nggak jatuh cinta sama siapapun, tapi nggak ada
seorangpun yang mampu melawan takdir. Perlahan, karena kebaikan Dika,
hatinyapun luluh dan akhirnya mereka berdua pacaran.

Awalnya Mahardika mendekati Natria hanya untuk ngebuktiin
kalo nggak ada seorangpun yang sanggup menolaknya, namun setelah pacaran
beberapa bulan, dia mulai menemukan sisi lain dari Natria.

Cewek yang dulunya dingin dan pendiam itu kini selalu tampak
ceria, bahagia, dan penuh tawa. Namun tak ada yang abadi di dunia ini,
roda kehidupan terus berputar, kadang kita ada di atas, dan kadang ada
di bawah. Sabtu itu merupakan awal malapetaka bagi Natria. Tanda-tanda
penyakitnya mulai muncul, Spino Cereberral D"generation telah menyerang
sistem sarafnya.

Natriapun nggak diizinkan pergi ke sekolah, Diandra dan
mahardika menjenguknya, "Nat, kenapa lo jadi kayak gini?" kata Diandra
sambil memeluk sahabatnya itu.

Natria menjawab perlahan, "Dra, akhirnya ini terjadi juga,
sepertinya umurku udah nggak panjang lagi."

"Jangan ngomong gitu Nat, gue punya paman yang bekerja di RS
Sanglah, gue akan membawa lo ke sana untuk menjalani therapy. Lo akan
sembuh Nat."

Natria tersenyum, dari bibir mungilnya terdengar ucapan
terimakasih kepada sahabat dan pacarnya yang baik itu.

Akhirnya Natriapun dirawat di rumah sakit, walaupun sudah
menjalani teraphy selama hampir setengah tahun, penyakitnya tidak juga
sembuh. Semakin hari keadaanya semakin memprihatinkan.

Karena sudah tidak ada harapan untuk sembuh, orang tua
Natriapun membawa pulang anak kesayangan mereka itu. Diandra ikut
menjemputnya ke rumah sakit, tapi Mahardika tidak nampak, "Dra, Dika
mana?" kata-kata Natria tidak jelas terdengar, tapi Diandra mengerti
maksudnya.

"Dika, Dika..."

"Dika kenapa?"

"Dia melanjutkan sekolahnya di luar negeri. Dia ingin
menjadi dokter yang bisa nyembuhin penyakit lo." Dua tetes air terlihat
menetes di ujung matanya.

"Kamu nggak usah membohongi aku Dra, aku udah tahu semuanya.
Dia pergi karena tahu aku akan segera mati, iya kan Dra?"

"Nggak Nat, lo nggak akan mati secepat itu, Dika pasti
kembali dan nyembuhin lo, lo harus percaya sama gue."

"Udahlah Dra, jangan menghiburku lagi. Aku tahu aku memang
bodoh, seharusnya aku nggak nerima cinta dia yang palsu itu, seharusnya
aku mampu bertahan tanpa cinta. Cinta itu bullshit, omong kosong...
nggak ada yang namanya cinta sejati.." kini Natriapun menangis, dia
sudah tidak mampu lagi membendung air matanya.

Diandra memeluknya dengan erat, "Itu nggak bener Nat. Dika
akan segera pulang, gue yakin itu. Lo harus nunggu dia."

"Udahla Dra, aku capek... mendingan kamu pulang aja, aku mau
istirahat."

"Ya udah, kalo gitu gue balik dulu ya, besok gue ke sini
lagi. Gue harap besok gue bisa lihat senyum manis lo." Kata Diandra,
lalu dia kembali ke rumahnya.

Kini Natria sendiri di kamarnya, menatap hampa pada
keindahan musim hujan yang baru saja tiba. Air mata terus berlinangan di
pipinya. Hatinya terasa sakit, satu-satunya cowok yang dia cintai kini
telah pergi. Tak ada lagi semangatnya untuk bertahan hidup lebih lama,
yang dia tunggu hanyalah kematian.





Esok paginya Diandra menjenguk Natria lagi, "Nat, gue udah
dateng. Bukain pintunya donk...." katanya sambil mengetuk pintu. Tapi
Natria tidak menjawab, Diandrapun mengtuk pintunya dengan lebih keras,
"Nat, Natria, buka pintunya. Gue bawain makanan kesukaan lo nich."

Masih tidak terdengar jawaban, cewek itupun menemui kedua
orang tua Natria, lalu mereka membuka pintu kamar dengan kunci
candangan. Ketika sampai di dalam, betapa terkejutnya mereka, gadis
berambut panjang itu nampak terbujur kaku di atas ranjang, matanya
tertutup rapat dan jantungnya tak berdetak. Seulas senyum menghiasi
bibirnya yang pucat. Natria sudah pergi untuk selama-lamanya, dia
meninggal dalam kesedihan yang amat mendalam.







5 tahun kemudian........



Seorang cowok berjas putih terlihat turun dari sebuah mobil.
Tangan kanannya menggenggam seikat mawar. Setelah sekian lama berjalan
diantara banyak makam yang berjejer di sana, diapun berhenti di depan
sebuah makam yang sederhana tapi sangat bersih dan rapi.

Ternyata cowok itu adalah Mahardika Putra yang kini sudah
menjadi seorang dokter. Setelah menamatkan pendidikannya di luar negeri,
kini dia kembali ke Indonesia untuk mengabdikan diri di dunia kesehatan
tanah air.

Sehari setelah sampai di Indonesia, dia berziarah ke makam
gadis yang paling diacintainya, Natria. Sambil bersimpuh, Dika berkata,
"Hai Nat, apa kabar? Lo pasti udah tenang ya di sana. Maafin gue yang
bodoh ini ya, seharusnya gue nggak pergi di saat lo sangat memerlukan
dukungan gue." Air matanya menetes perlahan, walaupun cowok pantang
menangis, tapi dia nggak peduli.

"Natria, lo harus tahu satu hal, sejak lo pergi, hidup gue
terasa hampa, bahkan gue sempat berfikir untuk bunuh diri. Tapi penyakit
lo ngelarang gue, gue harus menemukan obat untuk menyembuh

No comments:

Post a Comment